Sejak kecil Muhammad sudah belajar berbisnis. Dalam usia 12 tahun, ia menemani pamannya Abu Thalib melakukan perjalanan bisnis ke Syam (Syiria). Bersama rombongan kafilah pedagang mereka tiba di Bushra. Daerah di sebelah selatan Syam. Di buku riwayat, dalam perjalanan inilah beliau bertemu dengan rahib Bahira. Seorang yang banyak mengerti tentang ajaran agama Nasrani.
Sebelumnya, bertahun-tahun kafilah pedagang melintas, Bahira tidak pernah keluar dari tempat ibadahnya menemui mereka. Ia juga tidak pernah mengarahkan pandangan atau berbicara pada mereka. Namun, saat kafilah di mana Muhammad berada berhenti agak dekat dengan tempat ibadahnya, sang rahib tiba-tiba seperti melihat seseorang yang ditunggu-tunggunya. Dilihatnya awan mendung menutupi pohon tempat mereka berteduh. Bahira merasa di pohon itulah orang yang dicari-carinya berada.
Ia memerintahkan untuk membuat banyak makanan. Lalu, keluar dan menemui kafilah. “Wahai orang-orang Quraisy, aku telah membuatkan banyak makanan untuk kalian. Aku akan sangat senang jika kalian semua, yang besar atau yang kecil, yang muda atau yang tua, budak maupun merdeka, bisa hadir di perjamuanku,” ujar Bahira.
Hal ini mengherankan bagi mereka. Seumur-umur baru kali ini Bahira bersikap seperti itu. “Wahai Bahira, apa yang terjadi denganmu? Berulang kali kami melintas di sini, kamu tidak pernah sebaik ini?” tanya salah seorang kafilah.
“Ya, dulu memang seperti itu. Tapi, sekarang aku tahu bahwa kalian adalah tamu. Dan, aku senang bisa menghormati tamuku dan menjamunya dengan makanan,” jawab Bahira. Rombongan segera menuju rumah Bahira. Muhammad tidak ikut bergabung bersama rombongan ke rumah Bahira. Ia hanya menunggu di bawah pohon.
“Wahai Quraisy, jangan sampai ada satu pun yang tidak ikut,” katanya.
“Bahira, semuanya ikut kecuali seorang anak yang masih kecil. Dialah yang termuda dalam rombongan kami,” jawab mereka.
“Jangan begitu. Semuanya harus ikut. Ajaklah dia makan bersama,” pinta Bahira.
“Demi Lata dan Uzza, sungguh sangat tercela kita tidak mengajak anak Abdullah bin Abdul Muthallib untuk makan bersama kita,” ujar salah seorang mereka. Ia lalu membawa serta Muhammad ke tempat perjamuan.
Saat melihat Muhammad, Bahira memperhatikan sekujur tubuhnya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia mencocokkan dengan sifat-sifat yang diketahuinya dari kitab suci. Setelah selesai makan, dan rombongan mulai kembali ke kafilahnya, Bahira menemui Muhammad.
“Nak, demi Lata dan Uzza, maukah kamu menjawab apa yang akan kutanyakan,” kata Bahira yang bersumpah atas nama Lata dan Uzza karena mendengar orang Quraisy mengucapkan hal yang sama.
“Jangan pernah sekalipun kau bertanya atas nama Lata dan Uzza. Demi Allah, aku tak akan membenci suatu apapun yang dibenci Lata dan Uzza,” jawab Muhammad.
“Kalau begitu, demi Allah, maukah menjawab pertanyaanku?” kata Bahira.
“Iya, silakan.”
Bahira bertanya banyak hal; mulai dari tidurnya, keadaan hariannya, serta hal-hal lainnya. Muhammad menjawab semuanya. Ternyata, sesuai dengan pengetahuan dan kabar yang diketahui oleh Bahira tentang ciri-ciri beliau. Bahira melihat punggung Muhammad. Ada cap kenabian. Persis dengan kabar yang diketahuinya.
Bahira memandang ke arah Abu Thalib, “Siapakah anak ini?”
“Anakku,” jawab Abu Thalib.
“Mana mungkin dia anakmu. Seharusnya ayahnya sudah tidak ada.”
“Sebenarnya dia adalah keponakanku,” ujar Abu Thalib.
“Apa yang terjadi dengan ayahnya?”
“Ayahnya meninggal saat ibunya sedang mengandungnya,” jawab Abu Thalib.
“Engkau benar. Aku mengetahui ciri-cirinya persis seperti yang ada dalam kitab kami. Dia adalah utusan Allah. Sebaiknya kamu bawa ia pulang kembali ke kotamu. Berhati-hatilah dengan orang Yahudi dan Romawi. Andai mereka tahu seperti yang kutahu, mereka akan berlaku buruk terhadapnya,” pungkas Bahira.
Abu Thalib pun kembali ke Mekah bersama Muhammad dan ditemani beberapa orang.
Sebelumnya, bertahun-tahun kafilah pedagang melintas, Bahira tidak pernah keluar dari tempat ibadahnya menemui mereka. Ia juga tidak pernah mengarahkan pandangan atau berbicara pada mereka. Namun, saat kafilah di mana Muhammad berada berhenti agak dekat dengan tempat ibadahnya, sang rahib tiba-tiba seperti melihat seseorang yang ditunggu-tunggunya. Dilihatnya awan mendung menutupi pohon tempat mereka berteduh. Bahira merasa di pohon itulah orang yang dicari-carinya berada.
Ia memerintahkan untuk membuat banyak makanan. Lalu, keluar dan menemui kafilah. “Wahai orang-orang Quraisy, aku telah membuatkan banyak makanan untuk kalian. Aku akan sangat senang jika kalian semua, yang besar atau yang kecil, yang muda atau yang tua, budak maupun merdeka, bisa hadir di perjamuanku,” ujar Bahira.
Hal ini mengherankan bagi mereka. Seumur-umur baru kali ini Bahira bersikap seperti itu. “Wahai Bahira, apa yang terjadi denganmu? Berulang kali kami melintas di sini, kamu tidak pernah sebaik ini?” tanya salah seorang kafilah.
“Ya, dulu memang seperti itu. Tapi, sekarang aku tahu bahwa kalian adalah tamu. Dan, aku senang bisa menghormati tamuku dan menjamunya dengan makanan,” jawab Bahira. Rombongan segera menuju rumah Bahira. Muhammad tidak ikut bergabung bersama rombongan ke rumah Bahira. Ia hanya menunggu di bawah pohon.
“Wahai Quraisy, jangan sampai ada satu pun yang tidak ikut,” katanya.
“Bahira, semuanya ikut kecuali seorang anak yang masih kecil. Dialah yang termuda dalam rombongan kami,” jawab mereka.
“Jangan begitu. Semuanya harus ikut. Ajaklah dia makan bersama,” pinta Bahira.
“Demi Lata dan Uzza, sungguh sangat tercela kita tidak mengajak anak Abdullah bin Abdul Muthallib untuk makan bersama kita,” ujar salah seorang mereka. Ia lalu membawa serta Muhammad ke tempat perjamuan.
Saat melihat Muhammad, Bahira memperhatikan sekujur tubuhnya. Dari ujung rambut hingga ujung kaki. Ia mencocokkan dengan sifat-sifat yang diketahuinya dari kitab suci. Setelah selesai makan, dan rombongan mulai kembali ke kafilahnya, Bahira menemui Muhammad.
“Nak, demi Lata dan Uzza, maukah kamu menjawab apa yang akan kutanyakan,” kata Bahira yang bersumpah atas nama Lata dan Uzza karena mendengar orang Quraisy mengucapkan hal yang sama.
“Jangan pernah sekalipun kau bertanya atas nama Lata dan Uzza. Demi Allah, aku tak akan membenci suatu apapun yang dibenci Lata dan Uzza,” jawab Muhammad.
“Kalau begitu, demi Allah, maukah menjawab pertanyaanku?” kata Bahira.
“Iya, silakan.”
Bahira bertanya banyak hal; mulai dari tidurnya, keadaan hariannya, serta hal-hal lainnya. Muhammad menjawab semuanya. Ternyata, sesuai dengan pengetahuan dan kabar yang diketahui oleh Bahira tentang ciri-ciri beliau. Bahira melihat punggung Muhammad. Ada cap kenabian. Persis dengan kabar yang diketahuinya.
Bahira memandang ke arah Abu Thalib, “Siapakah anak ini?”
“Anakku,” jawab Abu Thalib.
“Mana mungkin dia anakmu. Seharusnya ayahnya sudah tidak ada.”
“Sebenarnya dia adalah keponakanku,” ujar Abu Thalib.
“Apa yang terjadi dengan ayahnya?”
“Ayahnya meninggal saat ibunya sedang mengandungnya,” jawab Abu Thalib.
“Engkau benar. Aku mengetahui ciri-cirinya persis seperti yang ada dalam kitab kami. Dia adalah utusan Allah. Sebaiknya kamu bawa ia pulang kembali ke kotamu. Berhati-hatilah dengan orang Yahudi dan Romawi. Andai mereka tahu seperti yang kutahu, mereka akan berlaku buruk terhadapnya,” pungkas Bahira.
Abu Thalib pun kembali ke Mekah bersama Muhammad dan ditemani beberapa orang.
No comments:
Post a Comment